Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas Yogyakarta 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di Medan (Medan Area, Oktober 1945), Palagan Ambarawa (12 – 15 Desember 1945), Bandung Lautan Api (April 1946), Perang Puputan Margarana Bali (20 November 1946), Pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang (1 – 5 Januari 1947) dan juga tidak melebihi semangat berjuang Divisi Siliwangi, ketika melakukan long march, yaitu berjalan kaki selama sekitar dua bulan – sebagian bersama keluarga mereka - dari Yogyakarta/Jawa Tengah ke Jawa Barat, dalam rangka melancarkan operasi Wingate untuk melakukan perang gerilya di Jawa Barat, setelah Belanda melancarkan Agresi II tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh rakyat Indonesia adalah perjuangan arek - arek Suroboyo pada Pertempuran di Surabaya / Peristiwa 10 November 1945, yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan ini, terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas Yogyakarta yang kemudian dilaksanakan pada 1 Maret 1949, dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III - dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat - berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.
Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel (Purn.) dr. W. Hutagalung disebutkan, bahwa Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini hadir dalam rapat perencanaan, sehingga tidak diperlukan lagi Instruksi tertulis. Instruksi Rahasia tersebut merupakan kelanjutan dari Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949 yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, untuk antara lain: "... mengadakan perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya... yang dapat menarik perhatian dunia luar...". Dari dokumen ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-besaran adalah untuk menarik perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan oleh Panglima Besar Sudirman pada bulan Juni 1948.
Dokumen ketiga yang membuktikan bahwa seluruh operasi tersebut ada di bawah kendali Panglima Divisi III/GM III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19, tertanggal 15 Maret 1949. Perintah diberikan kepada komandan Wehrkreis I (Letkol. Bachrun) dan II (Letkol. Sarbini), untuk meningkatkan penyerangan terhadap tentara Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di wilayah Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949. Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang Sugeng, yaitu:
Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan
Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,
membuktikan bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayah Divisi III, tetap diatur dan dikendalikan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III. Dokumen-dokumen tersebut diperkuat antara lain dengan catatan harian Kolonel Simatupang, Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr. Wiliater Hutagalung, Perwira Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari A.H. Nasution, yang waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua dokumen menunjukkan, bahwa Panglima Divisi III selalu memberikan instruksi dan melibatkan ketiga Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas, bahwa komando operasi ada di tangan Panglima Divisi, dan bukan di tangan Komandan Brigade.
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian Simatupang tertanggal 18 Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari Banaran, di mana tertera: Kolonel Bambang Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta - Kedu - Banyumas - Pekalongan - sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran.
Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, mengandung sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik yang sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949, dan yang terpenting adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas tertera Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I Letkol. M. Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949 menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan seluruh potensi yang ada di bawah komandonya.
Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan pasukan di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak mungkin dilakukan oleh seorang komandan Brigade: Serangan yang akan dilaksanakan oleh Wehrkreis III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan operasi untuk mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.
Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk glorifikasi Suharto, sekaligus mengecilkan peran banyak atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa baris kalimat, sangat menjatuhkan nama baik Presiden Sukarno serta pimpinan sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- memutuskan untuk tidak ke luar kota.
Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota, diambil setelah dilakukan Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi sampai siang. Selain itu, Panglima Besar Sudirman dan Kolonel Simatupang sendiri juga berada di Istana. Para penulis buku SESKOAD sama sekali tidak menyebutkan adanya Sidang Kabinet, percakapan antara Presiden Sukarno dengan Panglima Besar dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan, yang ditujukan kepada seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel Simatupang, seusai Sidang Kabinet di Istana.
Buku SESKOAD juga tidak menjelaskan, siapa kelompok yang "mendongkol" dan akan menculik Presiden serta Wakil Presiden untuk dibawa ke luar kota. Mengenai kegiatannya sepanjang tanggal 19 Desember 1948, Simatupang menulis sangat rinci dalam buku Laporan dari Banaran, dan tidak menyebutkan bertemu dengan "kelompok yang mendongkol" tersebut. Seandainya memang benar ada rencana "penculikan" Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan hariannya.
Home »
Kontroversi
» Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret