Tanggal 22 Juli dikhawatirkan bakal terjadi kerusuhan saat pengumuman hasil Pilpres 2014 hari ini ternyata membuat sejumlah karyawan memilih tak masuk kerja.
Seperti dialami Pie, karyawati sebuah perusahaan swasta di kawasan industri Pulogadung, Jakarta. Trauma kerusuhan tahun 1998 semakin mempertebal kekhawatirannya. Tak masuk kerja menjadi satu-satunya pilihan.
"Intinya sih trauma aja, takut kaya kerusuhan dulu. Saya sudah izin ke kantor dari jauh hari dan kantor sudah diizinin kok," ujar perempuan berumur 25 tahun itu kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (22/7/2014).
Karyawan perusahaan farmasi ini mengaku memang tidak mengalami langsung kerusuhan 98. Namun peristiwa kerusuhan yang terjadi saat krisis ekonomi global itu membuatnya trauma.
"Dulu itu memang pengalaman teman ayah saya, pas kerusuhan 98. Dia harus nginep 3-4 hari gitu di tempat kerjaan. Makanya saya takut, orangtua khawatir nanti nggak bisa pulang," ungkap perempuan berambut lurus itu.
Meski mengalami perasaan khawatir serupa Pie, wanita bernama Wati tetap masuk kerja. Teman sekantor Pie ini mengaku kerusuhan 98 masih menghantui. Ia pun cemas akan terjadi kerusuhan saat pengumuman hasil Pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada pukul 16.00 WIB nanti.
"Saya tepaksa masuk, karena ada meeting review bulanan sama corporate," ujar manager merchandising itu.
Wati menuturkan, trauma masa lalunya itu dialami saat dirinya masih tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ketika itu ia masih remaja dan terpaksa bermigrasi dari kota kelahirannya itu ke tempat saudaranya yang aman bersama orangtua.
"Waktu itu saking takutnya, sampai berebut tiket pesawat. Harga tiket pesawat sampai-sampai dilelang," kenang dia.
Kekhawatiran kedua wanita itu ternyata diperparah dengan adanya imbauan dari tempat ia bekerja, meskipun itu bertujuan positif. Imbauan itu meminta kepada setiap karyawan agar menyiapkan bekal makanan, guna mengantisipasi jika terjadi kerusuhan atau kemungkinan buruk lainnya.
Perusahaan tempat ia bekerja juga mengimbau kepada semua karyawannya, agar tidak melakukan kegiatan terkait Pilpres. Misalnya, larangan agar tidak turut serta merayakan kemenangan pasangan capres, atau berunjuk rasa karena pasangan capres pilihannya kalah.
"Kantor juga ngelarang kita supaya tidak meneruskan pesan tentang Pilpres, yang kita tidak tahu kebenaran informasi itu," pungkas Wati. - Sumber at: liputan6