Doktor Hamzah Djunaid, MM meninggal dunia saat sujud di Masjid HM Asyik, Jumat, 21 November. Ia baru saja mengisi khutbah salat Jumat. Temanya, tentang kematian. Suasana rumah Hamzah tiba-tiba diselimuti duka. Tak ada yang menduga sebelumnya. Para tetangga pun heran. Soalnya, mereka baru saja melihat Hamzah pergi salat Jumat. Banyak yang tidak percaya kalau keramaian di rumah Jalan Jipang Raya, Makassar itu adalah para pelayat jenazah Hamzah. Hamzah baru saja mengisi khutbah salat Jumat di Masjid HM Asyik, Jalan Pettarani, Makassar. Ia meninggal saat sujud.
Anak keenam Hamzah, Muhammad Risyad, mengatakan, ayahnya memilih tema khutbah yang berkaitan dengan kematian. Ia tidak menduga jika tema itu merupakan pesan terakhir ayah tercinta. “Baru kali ini Bapak membawakan khutbah dalam keadaan yang sangat lama. Bapak agak lama membahas soal pemanfaatan waktu selama hidup. Waktu harus dimanfaatkan dengan beribadah dan saling menolong,” kata Risyad mencermati tanda-tanda terakhir jelang kematian sang ayah.
Risyad pun mengutip petikan khutbah terakhir ayahnya yang kurang lebih begini, “Kematian tidak dilihat dari umur yang muda dan tuanya seseorang. Namun, ketika Allah SWT menginginkan hal itu, semua akan terjadi.” Hamzah semasa hidupnya, berhasil menjadi Kepala Departemen Agama (Depag) Kabupaten Sinjai sejak 2008 hingga 2010. Ia sosok humoris, tapi tegas dalam memimpin dan bekerja. Hari-hari sebelum menutup usia, pria kelahiran 1954 ini merupakan dosen Fakultas Ilmu Agama di Universitas Islam Makassar (UIM). Selama aktif berceramah, Hamzah tidak pernah menghadiri undangan tanpa didampingi salah seorang anaknya.
Kebetulan, yang mendampingi Hamzah kemarin itu adalah Risyad. Tidak ada tanda-tanda sakit saat mendampingi ayahnya. Oleh karena itu, ia tidak pernah menyangka bahwa yang dikerumuni jemaah setelah salat Jumat itu adalah ayahnya. “Saya kan salat di bagian saf yang ketiga. Jadi, terhalang dari jemaah yang lain. Saya malah berpikir bahwa yang meninggal itu adalah imam masjid,” kata Risyad.
Nurfaizah, anak pertama Hamzah, menceritakan kepada FAJAR, bahwa ayahnya memang selalu menyatakan keinginan untuk meninggal di dalam masjid. Termasuk harinya, yaitu Jumat. “Saya masih ingat sekali, saat itu Bapak di meja kerjanya dan membaca koran. Bapak mengatakan kepada semua anaknya yang ada pada saat itu, bahwa dirinya sangat menginginkan meninggal di dalam masjid,” kata Nurfaizah.
Nurfaizah bahkan mengaku, bahwa pernyataan ayahnya ingin meninggal di dalam masjid itu bukan hanya pada saat baca koran tersebut. Sehari sebelumnya, Hamzah juga pernah mengatakan hal itu di hadapan anak-anak. Katanya, bagus sekali jika seorang muslim meninggal pada Jumat. “Bagusnya itu meninggal kalau hari Jumat. Apalagi di dalam masjid,” kata Nurfaizah mengutip kalimat ayahnya beberapa hari sebelum meninggal.
Lantas apakah memang ada riwayat penyakit Hamzah? Dalam kesehariannya, ayah tujuh anak ini memiliki riwayat penyakit jantung. Menurut Nurfaizah, ayahnya sering mengeluhkan sakit dada ketika berkendaraan jauh. “Kami dari keluarga pernah ingin mengantar Bapak ke rumah sakit untuk memasangkan cincin jantung pada 2010 lalu. Namun, Bapak bersikeras tidak mau. Makanya, hanya minum obat,” kata Nurfaizah.
Jenazah Hamzah dibawa ke Sinjai, hari ini. Para kerabat dan keluarga di kampung tak menyangka kematian Hamzah. Namun demikian, kepergian Hamzah menuju keabadian ini telah menjadi catatan tersendiri bagi jemaah Masjid HM Asyik dan keluarga almarhum. Terutama terkabulnya doa Hamzah semasa hidup, “ingin meninggal di masjid pada hari Jumat.”
Demikain pula pesan terakhir Hamzah di hadapan jemaah, “Kematian tidak dilihat dari umur yang muda dan tuanya seseorang….” Pesan itu juga telah dibuktikan Hamzah pada dirinya seraya tercapainya “cita-cita tertinggi” yang dilontarkan di hadapan anak-anaknya, “Bagusnya itu meninggal kalau hari Jumat. Apalagi di dalam masjid.” (*fajar Online)