Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri menjelaskan alasan teknis mengapa terjadi pelemahan rupiah terhadap dollar AS sekarang ini. Menurut Menkeu, keadaan yang kita hadapi merupakan kondisi yang riil, sama seperti ketika Bank Sentral AS belum memberikan stimulus ekonomi.
Nilai tukar rupiah terus saja melemah dan hari Kamis sore menembus angka Rp 12.000 per dollar AS. Kalau ini memang kondisi ini seperti ketika stimulus ekonomi belum dilakukan Bank Sentral AS, apakah pelemahan rupiah akan terus berlanjut ketika "tapering off" benar-benar dilakukan otoritas moneter AS?
Dalam Sarasehan Kebangsaan yang dilakukan Badan Perencana Pembangunan Nasional, mantan Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution mengatakan bahwa kita seringkali berpikir terlalu canggih mengenai perekonomian negara kita. Padahal banyak persoalan fundamental yang belum kita selesaikan sepanjang 68 tahun Indonesia Merdeka.
Salah satu yang dilihat Darmin Nasution adalah masalah kelembagaan. Kalau angkatan kerja Indonesia masih berada di sektor informal, maka sebenarnya ekonomi kita berada di tengah ketidakjelasan. Sebab, ekonomi informal dalam ilmu ekonomi adalah sesuatu yang tidak jelas.
Contoh lain tentang lemahnya kelembagaan adalah tidak adanya lembaga yang memiliki kompetensi standarisasi dan kemampuan diakui oleh partner dagang. Kalau ekspor kopi atau karet Indonesia harus melalui Singapura, karena kita membutuhkan lembaga yang ada di negeri itu agar produk kita bisa menembus pasar internasional.
Mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution melihat kapasitas dan kompetisi manusia merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan. Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam lima tahun ke depan akan jauh lebih berat dari sekarang ini.
Kita tidak bisa terus mencari kambing hitam dari persoalan yang kita hadapi. Tidaklah mungkin kita terus menyalahkan kebijakan moneter yang akan dilakukan Bank Sentral AS sebagai penyebab melemahnya nilai tukar dollar AS.
Padahal ada kondisi riil di dalam negeri yang menyebabkan pelemahan nilai tukar. Anwar Nasution melihat bentuk ekonomi yang tidak berubah yang hanya mengandalkan rente seperti di zaman Orde Baru. Sumber daya alam dieksploitasi tanpa bisa memberikan nilai tambah.
Tidak usah heran apabila perekonomian kita terseok-seok ketika harga komoditas melorot tajam seperti sekarang. Padahal di sisi lain utang yang dilakukan swasta sudah begitu tinggi. Dalam enam bulan 2013, jumlah utang yang harus dibayar swasta mencapai 24 miliar dollar AS.
Keringnya ketersediaan dollar AS akibat menurunnya harga komoditas, sementara kewajiban membayar utang yang begitu tinggi, menyebabkan dollar AS menjadi mahal. Itulah yang membuat nilai tukar rupiah terus tertekan, padahal "tapering off" belum dilakukan Bank Sentral AS.
Tanpa ada kejujuran untuk melihat akar persoalan yang kita hadapi, maka masalah pelemahan nilai tukar rupiah akan terus membebani. Padahal kita harus mengendalikan secara benar, karena pelemahan nilai rupiah akan membebani masyarakat, khususnya terhadap barang konsumsi yang berasal dari impor.